Selasa, 25 Oktober 2011

Bila Jam Dinding bisa Bicara

Hakikat Hidup itu...                                                                                          
Mobil mahal bukan jaminan keselamatan.
Menyetir dengan hati-hati dan sabar itulah kunci keselamatan.

Membawa selusin bodyguard bukan jaminan keamanan.
Rendah hati, ramah dan tidak mencari musuh, itulah kunci keamanan.

Obat dan vitamin bukan jaminan hidup sehat.
Jaga mulut, istirahat cukup  dan olah raga yang teratur itulah kunci hidup sehat.

Rumah mewah bukan jaminan keluarga bahagia.
Saling mengasihi, menghormati dan memaafkan itulah kunci keluarga bahagia.

Gaji tinggi bukan jaminan kepuasan hidup.
Bersyukur, hemat dan saling menyayangi berkah itulah kunci kepuasan hidup.

Pangkat tinggi bukan jaminan hidup terhormat.
Jujur, punya kredibiltas dan disiplin itulah kunci hidup terhormat.

Hidup berfoya-foya bukan jaminan banyak sahabat.
Setia-kawan, bijaksana, solidaritas, suka menolong Itulah kunci banyak sahabat.

Kosmetik bukan jaminan kecantikan.
Semangat, kasih, ceria, ramah dan senyuman itulah kunci kecantikan.

Satpam dan tembok rumah yang kokoh bukan jaminan hidup tenang.
Hati yang damai, kasih dan bebas tiada keserakahan dan kebencian itulah kunci ketenangan dan rasa aman..

Hidup kita itu sebaiknya ibarat 'jam dinding'. Diliat orang atau tidak ia tetap mendenting. Dihargai orang atau tidak ia tetap berputar. Diterima kasihi atau tidak ia tetap 'bekerja'.

Kalau jam dinding bisa bicara, ia akan berkata: "Karena aku punya kualitas..komitmen...dan tanggung jawab..”

Rabu, 12 Oktober 2011

Qurban dan Mitos Agama-agama

(Buletin Munashoroh Edisi Oktober 2011)

Dalam Islam, kurban tidak berawal dari mitos, sebagaimana pengorbanan agama-agama Kuno Yunani, Mesir, India atau agama ‘Maya’ di Meksiko (yang berkurban kepada para Dewa/Tuhan dengan cara meninggalkan cabang bayi di atas bukit atau melemparkan gadis suci ke dalam sungai keramat). Menurut ajaran Islam, Qurban adalah wujud kepasrahan, pengabdian dan kesalehan hamba. Kisah Ibrahim yang hendak mengorbankan anaknya adalah wujud tawakal dan pengabdian yang total.
Bila kita menilik ke belakang, Qurban sudah ada sejak kehadiran pasangan suami-istri pertama di bumi. Qurban muncul dalam suasana persaingan antara Qabil dan Habil. Kepada kedua anaknya, Adam memaklumkan berkurban. Bagi yang diterima, ia berhak mempersunting Iqlima, saudari kandung Qabil. Namun Qabil yang merasa kalah dalam kompetisi, lalu mengintimidasi, ”Saya akan membunuhmu.” Dengan nada teduh Habil mengingatkan,”Allah SWT hanya menerima (Qurban) dari orang-orang yang bertaqwa” (Q.S. Al-Maidah: 27).
Pada bentuk yang sama dan waktu yang berbeda Al-quran merekam peristiwa lain, seorang Ayah bermimpi selama tiga malam berturut-turut agar menyembelih anaknya. Dengan suara penuh ragu ia sampaikan mimpinya pada si buah hati. Nabi Ibrahim a.s tak menyangka, anaknya malah memantapkan kegundahannya, ”Saya siap,” ujar Nabi Ismail a.s (Q.S. Ash-Shoffaat: 102).
Allah SWT tak pernah meminta dikasih ’sesajen’ daging atau darah hewan yang disembelih. Tapi keikhlasan dan kepasrahan orang yang berkurban, itu yang bernilai disisi-Nya. Perintah-Nya adalah bagikan dagingnya secara adil kepada yang berhak. 1/3 untuk yang berkurban, 1/3 lagi untuk kerabat dan sahabat (walaupun orang kaya), dan sisanya untuk fakir miskin.
Yang perlu diingat adalah berbagi daging qurban untuk fakir miskin, sehingga mereka dapat merasakan kesempurnaan hari raya Idul Adha dan Tasyriq dalam kesetaraan dan kebahagian. Karena bagi fakir miskin, daging ini menjadi wujud “sesekali” dapat menikmati ’makanan orang kaya.’
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada satu amalan yang paling dicintai Allah dari bani Adam ketika hari raya Idul Adha selain menyembelih hewan qurban. Sesungguhnya hewan qurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah qurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan (pahala) qurban itu.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majjah dan Hakim)